a Di bagian utara : Laut Jawa. b. Di bagian timur : Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat. c. Di bagian Selatan : Samudera Indonesia. d. Di bagian barat : Selat Sunda. 􀂙 Kota-kota penting Ibu kota Provinsi Banten adalah Serang. Kota-kota penting lainnya sebagai berikut. a. Rangkas Bitung (ibu kota Kabupaten Lebak). b. MengendalikanBanjir dengan Lubang Resapan Biopori. Rabu, 17 Februari 2010 10:59 WIB. (ANTARA/Jafkhairi) Jakarta (ANTARA News) - Menciutnya kawasan hutan dan terbuka hijau di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi oleh perluasan lahan pertanian, pemukiman, bisnis, industri dan jalan telah membuat resapan air menyusut, sehingga saat hujan Wajarnyaair laut terasa asin, namun seiring permasalahan di lingkungan sekitar kita yang semakin menjadi-jadi dapat menyebabkan laut menjadi asam. Ini adalah dampak langsung dari produksi berlebihan gas Karbon Dioksida (CO2). Dua puluh lima persen gas CO2 yang dihasilkan oleh manusia. Keasaman laut telah meningkat dalam 250 tahun terakhir. Tanah lempung menyimpan air lebih banyak daripada tanah pasir, kekeringan di tanah lempung terjadi lebih lambat sudah pasti menjadi penyebab mengapa banyak sekali terjadi bencana alam seperti halnya lonsor, banjir, dls. hal ini mengakibatkan banjir besar di Jakarta pada tahun 2002. Sumber dampak yang sering disebut-sebut adalah 4 Kapasitas Sungai Kecil. Kapasitas sungai yang kecil terkadang juga bisa menjadi salah satu penyebab banjir yang tidak terhindari. Semakin tinggi curah hujan, maka semakin banyak volume air yang seharusnya ditampung oleh sungai. Namun karena tidak seimbang, akhirnya air membludak di wilayah sekitar. 4 dari 8 halaman. Informasitersebebut menjelaskan bahwa bangsa Arab telah sampai Cylon pada abad ke -2 SM. Memang tidak dijelaskan lebih lanjut tentang sampainya ke Indonesia.Tetapi kita hubungkan dengan kepustakaan Arab kuno yang menyebutkan Al-Hind adalah India atau pulau-pulau sebelah Timurnya sampai ke Cina, besar kemungkinan pada abad ke-2 SM bangsa arab telah sampai ke Indonesia. SumberGas CO2 di Laut. Posted on July 13, 2015 by ekoefendi. Karbondioksida adalah suatu komposisi campuran kimia yang terdiri atas dua atom oksigen kovalent yang terikat pada satu atom karbon. Gas ini berada diatmosfir bumi pada suhu dan tekanan standar. Pada saat sekarang diperkirakan diperkirakan konsetrasi rata-rata secara global berkisar diketahuibahwa di kawasan jakarta barat sebelah utara di sekitar batu ceper, penurunan muka air tanah hingga 44 m di bawah muka air laut, sedangkan di jakarta timur di sekitar kawasan pulo gadung tinggi muka air tanah turun hingga 16 m di bawah muka air laut dengan penurunan muka tanah hingga 180 cm selama (8) periode tahun 1982 - 1997 di MenurutSripo pada halaman pertama, banjir Jakarta yang terjadi pada malam tahun ba­ru 2020 menyebabkan hanyutnya banyak kendaraan di pemukiman penduduk tanpa bisa dihen­tikan karena derasnya arus banjir. Hanya saja potensi genangan yang tinggi dan lama masih po­tensial terjadi di Palembang sebelum selesainya musim hujan tahun ini. AshadiSiregar terkenal sebagai penulis novel populer yang tokohnya mahasiswa. Ashadi Siregar lahir tanggal 3 Juli 1945 di Pematang Siantar, Sumatra Utara. Ashadi Siregar adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara. Sehari-hari ayahnya bekerja menjadi pegawai negeri di Kantor Gubemur Sumatra Utara. PfnC. Karena tanah nya subur dan bagus untuk penyerapan air laut dan dkt dgn perairan. Karena,daerah jakarta utara dekat dengan daerah laut/perairansemoga membantu Jakarta - Fitra Iskandar 43 sudah lebih dari 30 tahun menggunakan layanan perpipaan PAM Jaya. Warga Kelurahan Kepala Gading Barat, Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara, itu mengaku tak punya pilihan lain dalam akses layanan air bersih. Pasalnya, kualitas air tanah di wilayah tersebut buruk. Menurut Fitra, pada akhir 1980-an saja, air tanah sudah terasa asin, kendati kala itu masih bisa dipakai untuk cuci piring dan baju. "Semakin ke sini, rasa air tanahnya semakin asin, baru akhirnya ditinggalkan warga dan sepenuhnya pakai PAM," ucap Fitra kepada Journal Resolusi Tahun Baru, Antara Tekad dan Angan-Angan Journal Harga Rokok Naik, Antara Perlindungan Kesehatan Masyarakat dan Penerimaan APBN VIDEO JOURNAL Untung Rugi Kenaikan Cukai Rokok Air PAM biasa dia pakai untuk kebutuhan sehari-hari seperti mandi. Untuk minum, Fitra memilih menggunakan air kemasan galon, sedangkan air PAM yang ingin digunakan untuk masak atau minum, biasanya ia endapkan dulu di ember sebelum dimasak. Layanan air PAM di tempat tinggal Fitra juga nyaris tidak pernah mati dan semburan airnya cukup besar. Journal Tinggalkan Air Tanah untuk Selamatkan Jakarta, Siapkah PAM Jaya? Journal Tanggul Jakarta dan Misi Menyelamatkan Ibukota Journal Merangkai Benang Kusut Royalti Lagu dan Musik Indonesia Dua minggu lalu air yang keluar sangat kotor, tapi itu terjadi hanya sehari, setelah itu layanan normal kembali. "Tagihan rata-rata Rp200 ribu sebulan, itu pemakaian lima orang di rumah. Ya masih wajar lah harga segitu," katanya. Setali tiga uang, Thomas 32 setiap bulannya mesti merogoh kocek Rp100 ribu-120 ribu untuk membayar tagihan air PAM Perusahaan Air Minum. Warga Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara ini cukup puas dengan pelayanan dan kualitas air yang diperolehnya. Air tersebut bisa ia gunakan untuk keperluan sehari-hari. Jumlah tagihan sebesar itu menurutnya masih wajar dengan pemakaian air sehari-hari untuk dua orang. Sebelumnya Thomas pernah menggunakan air tanah, tapi dia mengaku memilih memakai air PAM, karena lebih bagus. "Airnya PAM kencang, terus bagus juga. Sehari-hari ya bisa dipakai mandi. Minum juga bisa tapi pakai penyaring air dulu," kata Thomas kepada Fitra dan Thomas termasuk warga Jakarta Utara yang beruntung dapat memperoleh akses pelayanan perpipaan dari PAM Jaya. Dalam peta cakupan layanan jaringan perpipaan PAM Jaya, dari lima kota administrasi di DKI Jakarta, sejumlah area di Jakarta Utara dan Barat merupakan zona merah. Artinya, area itu belum memiliki akses perpipaan. Warna biru dalam peta cakupan layanan PAM berarti jaringan perpipaan sudah masuk di wilayah tersebut. Adapun warna hijau dalam peta itu artinya wilayah tersebut belum ada jaringan perpipaan, tapi kondisi air tanahnya masih bagus. Belum 100 Persen Lalu, bagaimana nasib wilayah yang belum dijangkau atau terlayani PAM, sedangkan kualitas air tanah di daerah tersebut tergolong buruk? Kenapa juga PAM belum mampu memaksimalkan layanan air bersih, baik secara kualitas maupun kuantitas hingga 100 persen? Padahal, eksploitasi air tanah sudah harus dikurangi agar penurunan muka tanah di Jakarta tidak semakin parah. Terdapat berbagai faktor kenapa wilayah tersebut tidak mempunyai akses perpipaan. Pihak PAM Jaya menyebut, ketiadaan sumber alternatif air baku menjadi penyebabnya. "Sampai dengan saat ini kami prioritas bagaimana melayani daerah-daerah yang berwarna merah tersebut," ujar Direktur Utama PAM Jaya, Priyatno Bambang Herwono kepada Sampai tahun 2020, cakupan layanan sumber air di DKI Jakarta baru mencapai 65 persen. Sedangkan jumlah pelanggan PAM Jaya hingga Juni 2021 sekitar 907 ribu orang. PAM sendiri menargetkan layanan mencapai 100 persen pada 2030. Air perpipaan yang mengalir ke Jakarta diketahui kurang lebih liter per detik. Untuk mencapai cakupan layanan 100 persen, masih kurang sekitar liter air per detik. Namun, pria yang akrab disapa Bambang ini menyebut, pada 2024 akan ada tambahan volume air sekitar liter per detik dari Sistem Penyediaan Air Minum SPAM Karian dan Jatiluhur. Sementara di Kepulauan Seribu, yang tidak ada sumber air permukaan, PAM Jaya pada 2019 membangun Instalasi Pengolahan Air IPA SWRO atau Sea Water Reverse Osmosis, di mana air bakunya berasal dari laut. Terdapat sembilan dari 11 pulau berpenghuni di Kepulauan Seribu yang dilayani PAM melalui IPA SWRO atau secara cakupan mencapai 77 persen. Tapi, Bambang mengakui, biaya produksi SWRO jauh lebih mahal ketimbang menggunakan air hak atas akses air melalui sistem pipanisasi dari PAM JAYA belum dirasakan seluruh warga Jakarta. Padahal akses air lewat pipa untuk warga dan industri, berpengaruh besar pada kecepatan penurunan tanah Jakarta, yang menyebabkan Jakarta tera...Kualitas Buruk Air Baku Sungai JakartaPetugas menggunakan alat berat untuk mengeruk lumpur serta memperlebar aliran Kali Krukut di kawasan Kemang, Jakarta, Selasa 10/11/2020 AntoniusPemprov DKI Jakarta dalam RAPBD tahun 2021-2022, mengusulkan adanya Peraturan Gubernur nomor 57 tahun 2021, yang mana pergub tersebut mengajukan dana subsidi sebesar Rp33,58 triliun pada APBD perubahan 2021 dan APBD 2022. Subsidi diberikan sebagai bentuk upaya Pemprov DKI Jakarta untuk kesetaraan pelayanan air bersih warga Ibu Kota. PAM Jaya sendiri membutuhkan dana sebesar Rp30,1 triliun untuk memenuhi cakupan layanan sumber air bagi masyarakat Provinsi DKI Jakarta sampai 100 persen. Anggaran tersebut diperlukan untuk proses konstruksi beberapa inisiatif pemenuhan layanan sumber air hingga tahun 2030. Biaya yang besar tersebut dibutuhkan untuk pembangunan jaringan distribusi dan transmisi. Alokasi dananya sendiri yang pertama untuk inisiatif regional yang terdiri atas proyek SPAM Karian hulu, Jatiluhur hulu-hilir dengan keperluan anggaran Rp13,6 triliun. Lalu, yang kedua yakni proyek SPAM Karian hilir yang memakan anggaran sampai Rp6,8 triliun. Dan ketiga adalah Buaran III, uprating Buaran, Ciliwung, Pesanggrahan, SPAM Komunal, dan untuk new improvement dengan total kebutuhan anggaran mencapai Rp9,7 triliun. Pemprov DKI Jakarta dalam RAPBD 2021-2022 telah mengusulkan Pergub No. 57/2021, yang mengajukan dana subsidi dengan nilai Rp33,58 triliun pada APBD Perubahan 2021 dan APBD 2022. Pengajuan subsidi itu merupakan upaya merealisasikan kesetaraan pelayanan air bersih di DKI Jakarta. Sampai sekarang, sumber air dan cakupan layanan perpipaan di DKI Jakarta masih begitu tergantung pada air baku yang berasal dari luar area. Sebanyak 81 persen layanan air baku minum perpipaan di DKI Jakarta berasal dari Waduk Jatiluhur atau setara liter per detik, sedangkan enam persen diambil dari sungai yang ada di Jakarta. Kendati terdapat 13 sungai yang melewati wilayah Ibu Kota, ditambah ada 108 embung, situ, dan waduk di DKI Jakarta, faktanya hanya enam persen air baku yang bisa dimanfaatkan untuk pelayanan air minum warga Jakarta. Enam persen air baku yang berasal dari sungai di Jakarta yakni sekitar liter air per detik, di mana Kali Krukut menyumbang 400 liter air per detik dan Banjir Kanal Barat sebesar 800 liter per detik. Untuk mengolah air baku yang berasal dari sungai di Jakarta, kata Bambang, diperlukan treatment lanjutan, karena kualitasnya yang di bawah standar. Proses pengolahannya pun ditambahkan teknologi yang lengkap sehingga biayanya menjadi lebih mahal. Bambang menerangkan, kondisi yang ada sekarang mesti dimanfaatkan hingga menyentuh standar cakupan layanan minimal sebanyak 80 persen. Sebab, berdasarkan regulasi yang berlaku, apabila belum 80 persen, semua keuntungan PAM harus dipakai demi mencapai standar tersebut. Masih ada 35 persen celah yang belum terpenuhi dalam cakupan layanan PAM Jaya untuk mencapai 100 persen. PAM perlu menciptakan pasokan air sebanyak liter per detik serta non-revenue water NRW yang hanya sampai 18 persen. Non Revenue Water NRW atau ATR Air Tak Berekening merupakan perbedaan jumlah air yang masuk ke sistem distribusi dengan air yang tercetak di rekening. NRW adalah jumlah dari air yang dikonsumsi tak berekening unbilled consumption dan kehilangan air water losses. Rintangan dan Hambatan Bambang mengatakan, ada tantangan dan rintangan dalam upaya PAM mencapai target 100 persen cakupan layanan sumber air bagi masyarakat Provinsi DKI Jakarta. Salah satu rintangannya yakni sengketa lahan. Menurut Bambang, ada warga yang punya KTP DKI dan berhak memperoleh air bersih, tapi tinggal di daerah lahan yang menjadi sengketa. Sebelumnya, PAM tidak bisa melayani warga-warga seperti itu. Namun, kini bisa dengan Sambungan Langsung Khusus SLK, agar warga yang menempati daerah yan status kepemilikan lahannya tidak jelas, tetap memperoleh air bersih. Yang kedua adalah resources yang terbatas, dalam hal ini adalah air baku. Di Kepulauan Seribu, tidak memungkinkan lagi kita terus-menerus melakukan ekstraksi Air Tanah Dalam, sehingga dibuat SWRO supaya warga di sana mendapatkan air berkualitas. Area-area yang berwarna merah di peta cakupan layanan PAM DKI Jakarta, dilayani dengan cara atau model melalui kios-kios air. Kemudian, ketiga ada keterjangkauan. Dalam beberapa hal, SWRO memiliki harga pokok produksi lebih tinggi, dibanding tarif yang diberlakukan kepada warga yang memperoleh airnya. PAM memastikan keterjangkauan, tapi tetap melihat operasionalnya yang harus full cost recovery. Ini yang kemudian memunculkan subsidi tarif, merujuk kepada Permendagri 70/2016; Permendagri 21/ Sumber AirSeorang anak saat mandi di dekat sungai di kawasan Latuharhari, Jakarta Pusat. AntoniusDirektur Eksekutif Pusat Studi Perkotaan, Nirwono Joga, mengatakan Jakarta sebenarnya tidak kekurangan stok air. Justru DKI memiliki banyak sumber air. Masalahnya, sumber air tersebut tercemar dan tidak pernah dioptimalkan. "Ada beberapa sumber air yang kalau dari awal direncanakan dengan baik, justru kita mempunyai potensi air yang berlebih. Air permukaan ada 13 sungai. Kalau kita jamin airnya bersih, tidak ada sampah dan limbah, berarti air itu kan siap pakai. Jumlah 13 sungai itu lebih dari cukup kalau kita gunakan sebaik-baiknya," kata Nirwono kepada Jakarta juga memiliki 109 situ, danau, embung dan waduk. Belum lagi ditambah perencanaan pembangunan 20 waduk baru sampai 2030. Artinya, kata Nirwono, kalau semua waduk itu dioptimalkan terutama ketika musim hujan untuk menampung air yang banyak dan bebas dari sampah serta limbah, maka ini juga menjadi potensi air yang bisa digunakan. "Selain itu, di utara Jakarta ada laut yang begitu luas. Air sungai yang terbuang atau mengalir ke laut, itu masih bisa potensinya untuk ditampung dan digunakan sebagai air bersih. Ini yang tidak dilakukan." "Potensi air semua itu selama ini jadi tempat pembuangan sampah dan limbah yang mengakibatkan air tidak siap digunakan. Kalau pun diolah butuh kerja keras. Ini yang membuat seolah-olah Jakarta kekurangan air," ucap dia. Dosen Universitas Trisakti itu mengakui, kualitas sumber air Jakarta untuk menyuplai ke PAM Jaya memang di bawah standar. Tapi, itu terjadi karena kesalahan manusia, bukan alamnya. "Harusnya di sungai itu kan tidak ada pemukiman, sehingga kita bisa menjamin bahwa air sungai yang mengalir tadi bebas dari sampah dan limbah rumah tangga. Begitu juga dengan situ, embung dan waduk, kita membayangkan itu di sekitarnya taman, bukan pemukiman, sehingga dapat dijamin air hujan yang ditampung itu bebas dari sampah dan limbah." Pencemaran sungai, kata Nirwono, berasal dari bangunan yang ada di tepi sungai. Mulai dari pemukiman sampai industri rumah tangga. "Kalau itu ditertibkan, otomatis kan sumber utama pencemarannya bisa dihentikan. Selama kita masih memperlakukan air permukaan sebagai tempat pembuangan sampah dan limbah, maka sampai kapan pun sumber air yang ada di Jakarta tidak bisa digunakan PAM." "Jadi di sini bagaimana tanggung jawab pemprov DKI menjamin kualitas air permukaan itu layak digunakan PAM," ucap dia. Nirwono menjelaskan, kunci pengadaan air bersih di Jakarta ada tiga, yakni kuantitas, kualitas dan kontinuitas. Secara kuantitas, Jakarta seharusnya tak kekurangan karena memiliki banyak sumber air. Sementara secara kualitas, Jakarta harusnya memiliki kualitas air yang bagus. Namun, karena sumbernya tercemar, maka kualitasnya berada di bawah standar. "Kalau secara kontinuitas, sepanjang tahun ini kan hujan terus. Artinya pasokan air memadai, sayangnya tidak dikelola dengan baik," ucap pria lulusan Royal Melbourne Institute of Technology tersebut. / TriyasniTarif Air PAM, Mahal atau Murah?Warga mengantre mengambil air minum gratis saat run for water di CFD, Jakarta, Minggu 25/3/2018 YuniarTarif air perpipaan di Jakarta paling rendah berada pada titik Rp per meter kubik 1 meter kubik = liter, sedangkan tertinggi mencapai per meter kubik. Tarif rata-ratanya sendiri berada di sekitar angka Hal itu berdasarkan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 91 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2007 tentang Penyesuaian Tarif Otomatis PTO Air Minum Semester 1, Tahun 2007. Menurut Direktur Utama PAM Jaya, Priyatno Bambang Hernowo, pihaknya telah menyesuaikan tarif pelanggan bagi keperluan rumah tangga, sosial, hingga industri. Sementara untuk di luar Jakarta, ia mengakui daerah lain ada yang tarifnya lebih tinggi dan lebih rendah. "Jadi harus punya benchmark-lah. Karena model tarif kita kan memang subdisi ya, internal subsidi. Ada yang tinggi untuk komersial industri, dan yang rendah untuk sosial itu ungkap Bambang. Tempat-tempat yang digunakan untuk kegiatan sosial seperti panti asuhan, panti jompo, rumah ibadah, serta fasilitas publik, tarif yang dikenakan oleh PAM sebesar Rp per meter kubik. Sementara untuk kategori rumah tangga kelas bawah dan yang selevel, tarifnya per meter kubik, tapi apabila pemakaian air mencapai 20 meter kubik atau lebih, tarifnya menjadi per meter kubik. Adapun untuk kategori rumah tangga menengah dan selevelnya, tarif yang dikenakan senilai per meter kubik, namun jika pemakaian air mencapai 20 meter kubik atau lebih, tarifnya menjadi per meter kubik. Untuk kategori rumah tangga menengah atas dan selevelnya seperti aparteman menengah atas, perkantoran, restoran, rumah sakit swasta, dan industri kecil dikenai tarif air PAM sebesar per meter kubik, tapi tarif menjadi Rp apabila pemakaian mencapai 20 meter kubik atau lebih. Kemudian untuk kategori pelanggan seperti hotel berbintang, salon kecantikan, kafe, bank, pabrik, hingga apartemen mewah dan kondominium wajib membayar tarif air senilai per meter kubik. Tarif tertinggi yakni sebesar per meter kubik dikenakan untuk Pelabuhan Tanjung Priok. Dengan tarif sebesar itu, menurut Lembaga Bantuan Hukum LBH Jakarta, seharusnya kualitas air yang didapat sudah sangat bersih dan siap minum. Seperti di Singapura, air layanan perpipaannya sudah bisa langsung diminum oleh pelanggan. Seperti dilansir situs pemerintahan Singapura tarif air bersih siap minum yang harus dibayarkan penduduk Singapura sebesar 1,21 dolar Singapura per meter kubik ditambah pajak 50 persen dan waterborne fee 0,92 dolar Singapura. Jadi, total dibayar sebesar 2,74 dolar Singapura per meter kubik atau setara per meter kubik. Tapi, bila pemakaian air melebihi 40 meter kubik, maka tarif menjadi 3,69 dolar Singapura per meter kubik atau sekitar Sementara itu, berdasarkan data yang dikumpulkan, pada 2020, tarif air bersih di Malaysia yang dikenakan kepada pelanggan yakni sebesar 1,38 ringgit per meter kubik air atau setara per meter kubik. Lebih murah dibandingkan Indonesia, yang tarif rata-ratanya mencapai Belajar dari Singapura Direktur Eksekutif Pusat Studi Perkotaan, Nirwono Joga berharap, Jakarta bisa belajar dari Singapura. Dengan bentuk pulau dan sumber air yang terbatas, Singapura berhasil mandiri secara kebutuhan air. Kuncinya adalah Negeri Singa mampu melakukan pengelolaan air secara berkelanjutan. "Di Singapura, air selokan bisa ditampung kemudian diolah dengan teknologi terbaru dan diproduksi sebagai air botolan, langsung diminum. Ini menunjukkan bahwa air itu sebenarnya bisa diolah, bisa digunakan, bahkan bisa diminum untuk kebutuhan sehari-hari," ujarnya. Menurut dia, kalau Singapura bisa, maka Jakarta juga harusnya bisa. Sayangnya, Jakarta punya tidak agenda besarnya. "Kapan warga Jakarta bisa minum dari keran seperti di Singapura. Kalau mau jalan pintas, kan bisa langsung kerjasama dengan Singapura, kita adopsinya teknologinya. Sayangnya, selama 20 tahun ini saya tidak melihat ada rencana induk atau semacam masterplan-nya," ucap dia. "Kalau kita lihat dari komitmen gubernurnya, paling tidak dari tahun 2000-an zaman Pak Gubernur Sutiyoso sampai sekarang, tidak ada satu pun gubernur yang berani menyatakan pada tahun sekian di Jakarta akan tersedia air bersih untuk warga ibukota, bisa minum dari keran seperti di Singapura," dia Sumber Air Baku PAM Jaya Untuk DKI Jakarta / Triyasni* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan. Jakarta Sekitar 115 pulau sedang dan kecil di Indonesia terancam hilang atau tenggelam akibat naiknya permukaan air laut. Demikian disampaikan Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional BRIN Eddy Hermawan dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis 16 September 2021. "Jangan terkecoh dengan kawasan Pantura saja, jangan terkecoh dengan Jakarta saja, apa yang akan terjadi di tahun-tahun berikutnya, inilah 115 pulau-pulau sedang dan kecil ini bisa tenggelam," kata Eddy. HEADLINE Sandiaga Uno Resmi Bergabung ke PPP, Peluang Jadi Cawapres Ganjar Pranowo? HEADLINE Puan Sebut AHY Masuk Bursa Cawapres Ganjar Pranowo, Serius atau Gimik? HEADLINE Pembahasan RUU Kesehatan Dibayangi Ancaman Mogok Nasional, Solusinya? Eddy berharap perhatian juga tertuju pada pulau-pulau sedang dan kecil di Indonesia seperti daerah wisata termasuk Bali dan Nias dan pulau-pulau lain. Termasuk di sepanjang pantai barat Sumatera yang juga terancam tenggelam, sehingga tidak hanya terpaku pada persoalan terancamnya Jakarta atau kota pesisir di Pantai Utara Jawa saja. "Tidak hanya Jakarta yang terancam, pulau-pulau kecil juga terancam," tuturnya. Menurut Eddy, kenaikan air laut tersebut disebabkan perubahan iklim dan penurunan muka tanah sehingga perlu kombinasi upaya mitigasi dan adaptasi ke depannya agar tidak kehilangan pulau-pulau tersebut. Namun begitu, kepada dia mengatakan publik tidak usah merasakan kekhawatiran yang berlebihan. Khususnya terkait besaran angka kenaikan air muka laut yang sebenarnya lebih kecil dari angka yang banyak dirilis berbagai lembaga. Apalagi jika merujuk pada laporan dari International Panel Climate Change IPCC, badan resmi dunia yang bertangung jawab tentang perubahan iklim. "Kalau melihat dari angka yang secara global pun kecil. Bahkan, 2030 di mana Presiden AS Joe Biden mengatakan hal itu relatif kecil. Saya menghitung hanya 25 cm di 2050, jadi 2030 tentu lebih kecil lagi kenaikan air muka lautnya," jelas Eddy, Jumat 17/9/2021 petang. Dia mengatakan, ada media yang mengabarkan bahwa kenaikan air muka laut di pesisir Jakarta bisa mencapai empat meter pada 2030. Hal itu terlalu ekstrim dan berbahaya, karena jika ada bias pun mungkin hanya sampai 50 cm, tidak sampai hitungan meter. "Jadi model dari mana angka meter itu? Logika saja, perjalanan es mencair dari Kutub ke Jakarta berapa lama? Kalau memang es mencair karena memang emisi CO2 naik, pasti negara-negara Skandinavia seperti Denmark dan Belgia habis duluan, nggak usah jauh-jauh, Singapura juga," tegas Eddy. Yang jelas, lanjut dia, perubahan iklim memang terjadi, kita tak bisa menghentikan. Tapi bisa menghambatnya dengan mengantisipasi emisi CO2 itu dengan menguranginya. Karena kalau menihilkam susah, sementara tiap hari orang naik mobil dan tiap pembakaran karbon menghasilkan CO2. Negara-negara penghasil minyak juga berkontribusi terhadap perubahan iklim, kebakaran hutan juga. Karena tiap yang dibakar menghasilkan emisi. "Memang ada keinginan untuk menghapus dampak itu menjadi nol, misalnya dengan menghadirkan teknologi mobil listrik. Tapi mobilnya belum siap pakai, stasiun pengisiannya belum ada. Mau pakai gas juga infrastrukturnya juga belum support," jelas Eddy. Jadi, lanjut dia, tidak bijak juga jika dikatakan perubahan iklim melulu soal ulah manusia, karena juga ada pengaruh alamiah. Seperti aktivitas matahari yang mencapai puncak panasnya yang berimbas ke es di kutub. "Manusia bukan faktor utamanya, tapi manusia yang memperparahnya. Selama kita manusia tidak tanggung jawab dengan apa yang sudah diperbuat maka akan sulit. Di sisi lain, ini terkait dengan sumber penghidupan mereka. Misal membuka lahan untuk bertani dengan cara membakar, jadi dilematis juga," ujar Eddy. Dia pun menyarankan pemerintah menyediakan mata pencaharian yang aktivitas sehari-harinya tidak memicu kerusakan alam agar mereka bisa menghasilkan sesuatu untuk hidup tanpa harus merusak lingkungan. "Jadi menurut hemat saya, untuk mengantisipasi agar air muka laut tak semakin parah, coba bangun mangrove di sepanjang Pantura. Hal itu sudah dilakukan tapi belum merata, kemudian juga penghijauan juga ditingkatkan untuk mengurangi emisi tadi," pungkas Eddy. Infografis 115 Pulau di Indonesia Terancam Tenggelam. itu, Project Officer Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Walhi Nasional Abdul Ghofar mengatakan pihaknya tidak kaget dengan data yang dilansir BRIN. "Walhi Sumsel dalam Laporan Tahunan 2019, salah satunya menyebutkan empat pulau di Sumsel sudah dinyatakan hilang. Demikian pula ketika isu dampak krisis iklim ramai kembali waktu Presiden AS Joe Biden bilang Jakarta merupakan salah satu kota yang akan tenggelam. Faktanya, tidak hanya pesisir Jakarta, Semarang, Pekalongan, dan wilayah utara Pulau Jawa sama rentannya dengan Jakarta," ujar Abdul kepada Jumat petang. Dia mengatakan, angka penurunan permukaan tanah di lokasi tersebut lebih cepat dibandingkan Jakarta, selaras dengan kenaikan air laut sebagai dampak krisis iklim. Berikutnya pulau-pulau kecil, yang rentan karena eksposenya memang agak minim karena bukan merupakan kawasan padat penduduk. "Kalau melihat datanya, semua itu memang dampak dari perubahan iklim ya, kalau soal adanya ulah manusia di situ, baik yang tinggal di wilayah pulau atau dalam wilayah yang lebih besar, saya pikir kalau melihat kausalitasnya memang berkaitan erat dengan aktivitas manusia," tegas Abdul. Dia mengatakan, Intergovernmental Panel Climate Change IPCC pada bulan Agustus 2021 merilis laporan yang menyatakan bahwa aktivitas manusia, mulai dari industri tranposrtasi, deforestasi untuk alih fungsi kawasan perkebunan dan pertanian, maupun permukiman telah menjadi penyebab krisis iklim saat ini. "Jadi human activity adalah faktor utama terjadinya krisis iklim. Tetapi kalau mau dilihat di skala lebih kecil, keterancaman pulau-pulau kecil itu dampak dari aktivitas manusia di sekutar pulau itu sangat minimalis, paling soal perubahan fungsi kawasan, seperti mangrove sebagai benteng alami pesisir berubah fungsi, misalnya untuk tambak," jelas Abdul. Ketika ditanyakan sampai kapan pulau-pulau itu bisa bertahan, dia mengatakan Walhi daerah umumnya menggunakan permodelan satelit, seperti Walhi Sumsel yang mengukur hilangnya pulau-pulau kecil. Sementara lembaga Climate Center membuat permodelan dengan tiga skenario, pertama skenario paling buruk, moderat, dan yang bagus. Kalau diambil skala moderat, mereka memproyeksikan kenaikan hingga tahun 2100 sekitar 0,4 meter atau 40 cm. "Memang terlihat tidak tinggi, tapi jalau kita melihat kawasan permukiman di Indonesia itu sebagian besar wilayah pesisir yang hari ini sudah mengalami dampak signifikan, Pekalongan itu sudah terdampak parah, Jakarta Utara parah, Demak parah, Semarang parah, apalagi nanti kalau menunggu tahun 2050 atau 2100, dampaknya akan banyak pengungsi," ujar Abdul. Menurut dia, ada dua langkah yang harus dilakukan pemerintah pusat untuk mencegah krisis ini terjadi. Pertama, pengurangan emisi karbon itu harus signifikan dilakukan, karena rencana pengurangan emisi Indonesia itu kurang ambisius dan kurang serius. Jadi pemerintah harus segera mengeluarkan kebijakan yang lebih serius dan ambisus untuk pengurangan emisi di semua sektor. "Berikutnya transisi energi, kita tahu lebih dari 50 persen pembangkit listrik kita itu didominasi energi kotor terutama yang bersumber dari batubara. Nah, dorongan untuk melakukan penghentian operasj PLTU Batubara hatus dipercepat. Apalagi tren global banyak yang sudah bertransisi, PLTU sudah lama dipensiunkan, mulai mengejar enegeri baru terbarukan," jelas Abdul. Sementara dalam skala lokal, lanjut dia, ada upaya untuk melakukan adaptasi dan mitigasi, salah satunya melakukan pendekatan di kawasan ekosistem mangrove sebagai benteng alami pertahanan dari ombak harus diperbanyak. Pemerintah bisa membantu untuk membiayai pembibitan dan pemeliharaan benteng alami yang sudah diinisiasi masyarakat. "Jadi, alih fungsi lahan di mangrove itu harus dicegah, karena banyak praktik terutama di pesisir utara Pulau Jawa, kawasan ekosistem mangrove itu dialihfungsikan jadi kawasan industri, seperti di Kendal dekat Semarang," pungkas 115 pulau sedang dan kecil di Indonesia terancam hilang atau tenggelam akibat naiknya permukaan air laut. Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional, Eddy Hermawan berharap perhatian juga tertuju pada daerah wisata termasuk Bali dan...Hitung Mundur Jakarta dan BaliIlustrasi perubahan iklim. dok. Marcomini/lucasmarcominiSelain menyorot ratusan pulau di Indonesia yang bakal tenggelam akibat perubahan iklim dan pemanasan global, Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional BRIN Eddy Hermawan juga memberi catatan khusus terhadap kawasan pesisir Jakarta. "Tidak hanya pemanasan global, penurunan muka tanah juga merupakan kontributor cukup besar yang menyebabkan Jakarta menjadi terendam," ujar Eddy. Ia menyarankan untuk lebih mengutamakan langkah-langkah yang memprioritaskan kelestarian dan keberlanjutan lingkungan seperti penanaman mangrove dan reboisasi serta menghasilkan dan menerapkan inovasi yang bisa menjadi solusi terhadap masalah itu. Eddy menuturkan, hasil simulasi menunjukkan kenaikan permukaan air laut akan menutupi Jakarta secara permanen pada 2050 sekitar 160,4 km persegi atau sama dengan 24,3 persen dari luas total wilayah saat ini. Air laut masuk antara lain ke wilayah Tanjung Priok, Pademangan, Penjaringan, Bandara Soekarno Hatta, Koja dan Cilincing. Selain perubahan iklim dan penurunan muka tanah, Eddy menuturkan kondisi wilayah Jakarta juga menyebabkan potensi wilayah itu terendam air laut juga makin tinggi karena berupa wilayah landai dan teluk. "Kondisi lokal setempat Jakarta yang memang juga menjadi serangan empuk bagi masuknya air laut karena tanahnya landai, empuk, bentuknya teluk," tutur dia. Eddy menuturkan, semua kawasan Pantura memang berisiko masuknya air laut, namun terlebih khusus daerah Jakarta karena kondisi lokal tanah yang empuk dan topografi wilayah yang membuat Jakarta makin berisiko terendam. "Pada dasarnya yang terjadi saat ini adalah kombinasi yang sudah airnya naik karena es mencair di kutub tetapi juga penurunan muka tanah yang tidak bisa kita kontrol sebenarnya," jelas dia. Sementara itu, Utusan Khusus Gubernur DKI Jakarta untuk Perubahan Iklim Irvan Pulungan mengatakan salah satu faktor yang meningkatkan potensi Jakarta tenggelam di tengah dampak perubahan iklim adalah penggunaan sumber daya air secara masif yang menyebabkan penurunan muka tanah. "Terdapat beberapa faktor yang meningkatkan potensi tenggelamnya Jakarta, yaitu letak geografis DKI Jakarta yang memang 40 persen wilayahnya berada di bawah permukaan laut, tingkat urbanisasi yang masif menyebabkan pembebanan pembangunan, serta penggunaan sumber air yang masif menyebabkan turunnya permukaan tanah," kata Irvan. Dia menuturkan, sebagai upaya mengatasi masalah tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mengeluarkan sejumlah kebijakan strategis terutama untuk pengendalian bencana perubahan iklim, pengendalian banjir dan perlindungan pesisir, serta perlambatan penurunan muka tanah. "Untuk pengendalian bencana perubahan iklim, Pemerintah DKI mengeluarkan sejumlah kebijakan/regulasi terkait seperti rencana aksi daerah penurunan gas rumah kaca, bangunan gedung hijau, perlindungan dan pengelolaan pohon, dan tim kerja mitigasi dan adaptasi bencana iklim," jelas Irvan. Aksi yang telah dilakukan terkait pengendalian untuk perubahan iklim antara lain zona rendah emisi di kawasan Kota Tua, peningkatan kuantitas dan kualitas ruang terbuka hijau, kerja sama antar pemerintah daerah hulu dalam pengelolaan daerah aliran sungai dan tata kelola wilayah tangkapan air, serta perluasan layanan air bersih melalui subsidi air minum. Sementara aksi yang telah dilakukan terkait pengendalian banjir dan perlindungan pesisir antara lain pengerukan sungai untuk memberikan ruang tambahan bagi aliran air, sumur resapan, penanaman mangrove di pesisir Jakarta dan Kepulauan Seribu, pembangunan tanggul pantai, peningkatan adaptasi masyarakat atas bencana banjir, dan penyusunan rencana kontijensi banjir serta garis komando dalam pelaksanaan evakuasi kejadian banjir. Irvan menuturkan perlunya inovasi dalam tata kelola kawasan perkotaan, dan pendekatan pengelolaan sumber daya yang lebih sirkular. Pemerintah DKI Jakarta juga mendorong kolaborasi aksi pemangku kepentingan, baik pemerintah pusat dan daerah, organisasi masyarakat sipil dan organisasi akademik dalam menanggulangi krisis iklim melalui pembentukan Tim Kerja Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim. Di sisi lain, melalui Peraturan Gubernur Pergub Nomor 57 Tahun 2021, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan subsidi air bersih untuk mendorong terwujudnya perluasan layanan air bersih bagi warga Jakarta yang pada akhirnya dapat membantu mengurangi penggunaan air tanah yang mengakibatkan penurunan muka tanah di Jakarta. Selain Jakarta, Pulau Bali juga diprediksi akan tenggelam. Pada tahun 2050, Pulau Bali diprediksi akan terendam seluas 489 km. Hal itu disebabkan oleh curah hujan yang terus meningkat dalam jangka panjang. Terkait hal itu, Direktur Walhi Bali I Made Juli Untung Pratama mengatakan, dirinya tidak membantah temuan itu. Sejak lama Walhi Bali sudah mengingatkan banyak pihak soal adanya potensi kenaikan air laut yang lama-kelamaan membuat Bali tenggelam dan hilang. Selain perubahan iklim, kenaikan muka air laut di wilayah pesisir juga banyak disebabkan oleh pembangunan pariwisata yang tidak ramah lingkungan. "Pembangunan proyek-proyek yang berada di pesisir ini yang mengancam Pulau Bali sesungguhnya. Kalau dibilang potensi tenggelam, tentunya itu sudah lama kami sadari," kata Made Juli saat dihubungi Jumat 17/9/2021. Dia mengatakan, temuan Walhi mengungkap abrasi di pesisir Bali sudah terjadi sejak tahun 60-an. Sejak landasan pacu Bandara Ngurah Rai dibangun dengan mereklamasi pantai. Berdasarkan pencitraan tahun 1972 hingga saat ini tercatat garis pantai mundur hingga ribuan meter. Ukuran tahun 1972 dipakai karena di periode itulah dimulainya revolusi industri yang menjadi awal terjadinya perubahan iklim. "Pura Cedok Waru itu saksinya, mundur sampai tiga kali karena reklamasi air laut naik. Jadinya pura itu tenggelam lalu dipindah lagi, itu sampai tiga kali," kata Made Juli. Perubahan iklim secara global diakui memang menjadi salah satu penyebab naiknya muka air laut di banyak tempat. Tapi bukan berarti pihaknya tutup mata terhadap perusakan lingkungan yang juga marak terjadi. Dia mencontohkan pembangunan proyek-proyek pariwisata di pesisir Bali, yang suka tidak suka turut menjadi biang keladi yang mempercepat Bali tenggelam. Apalagi melihat proyek-proyek tambang pasir, proyek perluasan bandara 153 hektare dan rencana perluasan pelabuhan seluas hektare. "Kalau dalam hukum tata ruang itu kan seharusnya hukum yang mengatur pariwisata, pada kenyataanya di Bali pariwisata yang mengatur hukum," tegas Made Juli. Dia lantas memberi contoh, ada investor ingin membangun destinasi wisata tapi di wilayah konservasi. Kenyataannya bukan pariwisatanya yang mengikuti aturan konservasi, tapi hukumnya yang dipermainkan agar wilayah konservasi ini bisa mengakomodir pariwisata. "Baru-baru ini, tahun 2019, itu mangrove kita itu mati 17 hektare akibat reklamasi Pelabuhan Benoa," kata Made Juli. Saat ini di Bali, kata dia, ada Perda Zonasi Pesisir, namanya Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Praktiknya sama seperti tata ruang, mana daerah yang boleh dibangun, dan mana daerah yang perlu dilindungi. "Tapi pada kenyataannya, perda ini banyak mengakomodir proyek-proyek yang merusak lingkungan hidup, seperti tambang pasir, reklamasi, dan perluasan kawasan pesisir. Jika proyek-proyek seperti itu malah diakomodir, maka potensi tenggelamnya Bali akan lebih cepat," Made Juli Segera Hilang dari PetaEmisi karbon merupakan kunci penting untuk menghindari perubahan iklim saat ini. Solusinya adalah mesin penghisap karbon di Swiss. PixabayAdalah Presiden Amerika Serikat AS Joe Biden yang memantik polemik di Tanah Air. Jauh-jauh berbicara dari Washington DC, Amerika Serikat, dia berbicara tentang wilayah DKI Jakarta yang dalam kondisi terancam. Tak heran kalau ucapan Biden membuat perhatian publik sedikit teralihkan dari kasus Covid-19 yang sedang tinggi-tingginya. Dalam pidatonya di kantor Direktur Intelijen Nasional AS pada 27 Juli lalu, Biden menyebutkan bahwa Jakarta terancam tenggelam. Penyebabnya adalah perubahan iklim yang saat ini sedang menghantui seluruh dunia sehingga Indonesia harus memindahkan Ibu Kota negaranya. Dia menyitir laporan Badan Antariksa AS NASA yang mengatakan meningkatnya suhu global dan lapisan es yang mencair membuat banyak kota di pesisir seperti Jakarta menghadapi risiko banjir. Juga adanya luapan air laut yang semakin besar. Menurut situs resmi Gedung Putih, pada Jumat 30/7/2021, Biden mulai membahas isu perubahan iklim dengan menyampaikan bagaimana masalah tersebut memiliki dampak berbahaya yang sama terhadap semua negara. Walaupun isu lingkungan tersebut sebenarnya sudah lama jadi pembahasan, kali ini gaungnya berbeda karena disampaikan seorang presiden dari negara adikuasa. Kalau soal kenaikan air laut dan penurunan tanah sudah lama diakui memang telah terjadi. Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, misalnya, pernah menyampaikan proyeksi permukaan laut pada 2050 dan 2100 akan naik 25-50 sentimeter cm. Kenaikan permukaan laut akan mengancam warga kawasan pesisir di Indonesia, seperti Jakarta, Semarang, dan Demak. LIPI juga membeberkan faktor lain yang ikut mendukung penurunan permukaan tanah Jakarta. Salah satunya akibat pertambahan bangunan dalam skala masif setiap tahun. Bangunan-bangunan untuk kepentingan industri, perkantoran, perumahan menyebabkan daerah resapan air semakin menipis. Hal itu, kata ahli, perlu ditata ulang oleh pemerintah. Hal senada diungkapkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Walhi. Dikutip dari laman abrasi mengancam keberadaan pulau-pulau di pesisir Provinsi Riau. Abrasi parah antara lain terjadi di Pulau Bengkalis, Pulau Batu Mandi Rokan Hilir, Pulau Rupat di Bengkalis dan Pulau Rangsang. Selain hantaman gelombang laut dan pertahanan hutan mangrove minim, laju abrasi juga didorong alih fungsi lahan. Hasil overlay garis pantai menunjukkan, sebagian besar abrasi terjadi di pantai utara Pulau Bengkalis. Paling parah di bagian barat diikuti bagian selatan. Laju abrasi dari 1988-2004, pada level 30-40 hektar rata-rata per tahun. Sejak 2004 ke atas, laju abrasi naik lebih dua kali lipat rata-rata per tahun. Demikian pula dengan Pulau Rangsang, yang meski tak selaju abrasi, akresi di pulau ini selama 24 tahun merujuk hasil overlay hanya 243,53 hektare atau rata-rata 10,29 hektare per tahun. Artinya, pengurangan daratan Pulau Rangsang sejak 1990-2014 seluas 854 hektar atau 36,08 hektare rata-rata per tahun. Bila melihat laju abrasi antara kedua pulau itu, Rangsang tampak lebih kritis. Dengan luas pulau 909,8 kilometer persegi, rata-rata laju abrasi per tahun Pulau Rangsang hampir setara abrasi Bengkalis yang luasnya kilometer persegi. Kondisi tanah dan letak pulau pun sama. Umumnya tanah rawa gambut dan langsung berhadapan dengan laut terbuka. Inti dari semakin parahnya abrasi tersebut adalah perencanaan diterapkan pemerintah di pulau-pulau itu tidak adaptif. Contoh, pemberian izin-izin perkebunan dan konsesi hutan tanaman industri HTI di pulau berkontur gambut, seperti Pulau Rangsang, Rupat dan Bengkalis merupakan sumber utama masalah ancaman. Tak hanya itu, masih di Provinsi Riau, Pulau Padang adalah pulau lainnya yang disebut terancam tenggelam. Tenggelamnya pulau ini disebabkan oleh rusaknya ekosistem gambut akibat ulah manusia yang sengaja membakar hutan dan lahan. Permukaan laut akan meningkat dan memicu abrasi Pulau Padang. Di luar Provinsi Riau, ada Pulau Salah Namo atau Salah Nama yang terletak di Banyu Asin, Sumatera Selatan yang juga terancam tenggelam. Pulau itu kini memiliki ketinggian dua meter di atas permukaan laut. Dilansir dari laman The Star, Kepala Unit Lingkungan di Pulau Namo, Syahrul mengatakan, warga di pulau itu sudah tahu bahwa permukaan laut yang naik dapat menenggelamkan tempat tinggal mereka. Warga pun telah memindahkan rumah mereka berjarak puluhan meter dari posisi sebelumnya. Masih di Sumsel, ada Pulau Burung yang juga terancam lenyap. Kekinian, ketinggian pulau itu hampir sama dengan permukaan laut. Ancaman lenyapnya pulau ini disebabkan oleh pemanasan global. Kemudian Pulau Kelor yang masuk dalam gugusan Kepulauan Seribu, Jakarta diprediksi terancam eksistensinya. Hal itu ditunjukkan lewat luas pulau yang kian menyempit. Kini, luas pulau tersebut diperkirakan hanya tersisa satu hektare saja. Yang paling menghawatirkan, pada tahun 2050, Pulau Bali diprediksi akan terendam seluas 489 km. Hal itu disebabkan oleh curah hujan yang terus meningkat dalam jangka panjang. Selain terancam tenggelam, Pulau Bali juga diprediksi akan terbagi menjadi dua bagian. Nusa Dua akan menjadi pulau terpisah dari Pulau Bali. Sementara, kabar terakhir yang dilansir Walhi, dua pulau yang berada di Sumatera Selatan yakni Pulau Betet dan Pulau Gundul sudah lenyap tenggelam. Sementara empat lainnya terancam tenggelam. Informasi terbaru yang membuat kita makin bergidik datang dari Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional BRIN Eddy Hermawan yang mengatakan 115 pulau sedang dan kecil di Indonesia terancam hilang atau tenggelam akibat naiknya permukaan air laut. "Tidak hanya Jakarta yang terancam, pulau-pulau kecil juga terancam," tutur Eddy di Jakarta, Kamis 16/9/2021. Sulit untuk dibayangkan, 20 atau 30 tahun ke depan, kita tak akan lagi menemukan ratusan noktah kecil di peta Kepulauan Nusantara. * Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.