4 Pada hakikatnya kekuasaan untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar, dimana kekuasaan ini dijalankan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adalah kekuasaan A. Konstitutif B. Legislatif C. Federatif D. Yudikatif E. Eksaminatif 5. Kekuasaaneksaminatif merupakan bagian dari kekuasaan secara horizontal. Sebelum amandemen UUD 1945, kekuasaan hanya terbagi menjadi tiga macam, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kemudian setelah amandemen UUD 1945, ditambahkan lagi kekuasaan konstitutif, moneter, dan eksaminatif. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Tim Ganesha MATERI: SISTEM PEMBAGIAN KEKUASAAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DISUSUN OLEH : IWAN SETIAWAN, S.Pd. No. Peserta : 19026215410084 Kelas :B f KATA PENGANTAR Syukur alhamdulilah, akhirnya saya bisa menyelesaikan tugas pembuatan bahan ajar berupa Modul Pembelajaran, tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam Setelahterjadinya perubahan UUD 1945 pembagian kekuasaan di tingkat pemerintah pusat mengalami pergeseran. Yang dimaksud dengan pergeseran tersebut yaitu pergeseran klasifikasi kekuasaan negara yang umumnya terdiri dari tiga jenis kekuasaan (legislatif, eksekutif dan yudikatif) menjadi 6 kekuasaan (legislatif, eksekutif, yudikatif, konstitutif, eksaminatif, dan moneter). Umumnyapemegang kekuasaa eksekutif adalah kepala negara yang dapat berupa presiden, perdana mentri, ataupun raja, sesuai dengan sistem pemerintahan yang diterapkan pada negara tersebut. Di Indonesia, pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi adalah presiden republik Indonesia sesuai dengan amanat Pasal 4 ayat (1) dalam UUD 1945. Pasal ini berbunyi Berikutpenjelasan masing-masing jenis pembagian kekuasaan Kekuasaanini dijalankan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang udah ditegaskan dalam Pasal 23 E ayat (1) UUD 1945: udah ditentukan adanya lembaga pemeriksa keuangan sebagai lembaga eksaminatif. Hal itu tercantum dalam UUD 1945 Pasal 23 ayat (5) yang ditindaklanjuti dengan adanya surat penetapan pemerintah No. 11/OEM tanggal 28 Desember Rodapemerintahan sehari-hari dijalankan oleh lembaga eksekutif. Di Indonesia, kekuasaan ini dipegang oleh Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Wagub, Bupati, Camat, Lurah. 3. Legislatif. Lembaga yang bertugas dalam merancang, membahas, dan mengesahkan Undang-undang bersama dengan lembaga eksekutif, dan lainnya. Di Indonesia fungsi legislatif LembagaNegara, Ketahui Legislatif hingga Eksaminatif. Indonesia memiliki lembaga negara utama meliputi legislatif hingga eksaminatif dalam bertugas menjalankan pemerintah yang berdaulat. Adanya lembaga negara ini bertujuan untuk membuat kedaulatan sebuah negara ada di tangan rakyat dan dijalankan berdasarkan UUD 1945. Kekuasaaneksaminatif dalam sistem Pemerintahan Indonesia dijalankan oleh A.DPR B.MPR C.Mahkamah Agung D.Presiden E.BPK - 23183662 Aprl6450 Aprl6450 15.07.2019 PPKn Sekolah Menengah Pertama terjawab Kekuasaan eksaminatif dalam sistem Pemerintahan Indonesia dijalankan oleh A.DPR B.MPR C.Mahkamah Agung D.Presiden E.BPK 2 Lihat jawaban Iklan Iklan Z4aws. - Setiap negara, termasuk Indonesia, memiliki sistem yang menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan. Terdapat tiga sistem pemerintahan yang banyak dianut negara-negara di dunia, yakni presidensial, parlementer, dan sistem Indonesia menjalankan sistem pemerintahan sesuai Undang-undang Dasar UUD 1945. Baca juga Kasus Pelanggaran HAM Berat di Indonesia yang Belum Terselesaikan Sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 adalah republik presidensial. Berikut ini penjelasannya. Sistem pemerintahan Indonesia Penjelasan tentang sistem pemerintahan Indonesia telah diatur dalam pasal-pasal UUD 1945 yang merupakan konstitusi Pasal 1 Ayat 1 UUD 1945, disebutkan bahwa Indonesia merupakan negara kesatuan dengan bentuk republik. Sementara itu, dalam Pasal 4 Ayat 1 UUD 1945, dijelaskan bahwa Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial karena kekuasaan tertinggi berada di tangan presiden. Berikut ini bunyi Pasal 4 Ayat 1 UUD 1945 Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar. Apa itu sistem presidensial? Presidensial adalah adalah sistem pemerintahan yang menempatkan presiden sebagai kepala pemerintahan. - Setiap negara menerapkan konsep pembagian kekuasaan. Pembagian kekuasaan ini kemudian diisi dengan struktur-struktur di masing-masing bagian yang berkaitan. Dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat 1, dijelaskan bahwa Indonesia adalah negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Pasal tersebut menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan, bukan negara federal. Salah satu ciri negara kesatuan adalah kedaulatan negara yang tidak terbagi-bagi. Meskipun kekuasaan pemerintah pusat di Indonesia diserahkan sebagiannya pada pemerintah daerah, tetapi kekuasaan tersebut tetap berada di pemerintah pusat. Bentuk pemerintahan yang diamanatkan UUD 1945 adalah republik. Dengan bentuk pemerintahan republik, Indonesia dipimpin oleh seorang presiden, bukan juga Macam Teori Kekuasaan Negara Menurut John Locke & Montesquieu Apa Saja Macam-Macam Kekuasaan Negara? Dalam proses memegang kekuasaannya, Presiden Indonesia dipilih melalui mekanisme pemilihan secara demokratis yang diatur dalam hukum negara Indonesia. Proses pemilihan berbeda dengan sistem monarki yang kekuasaannya terpusat di keluarga raja dan diwariskan turun-temurun. Menurut Joeniarto dalam buku Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia 1986, sistem tata negara Indonesia tidak menganut sistem negara lain. Dengan latar belakang sosio-historisnya, Indonesia memiliki cara tersendiri dalam membuat sistem pemerintahan. Pembagian Kekuasaan di Indonesia secara Horizontal Pembagian kekuasaan di Indonesia diterapkan melalui dua jenis pembagian. Kedua jenis tersebut adalah pembagian kekuasaan secara horizontal dan pembagian kekuasaan secara vertikal. Dikutip dari Modul Pembelajaran PPKn kelas X terbitan Kemdikbud, pembagian horizontal adalah pembagian kekuasaan menurut fungsi lembaga negara yang ada. Sedangkan pembagian vertikal adalah pembagian kekuasaan menurut kedudukan lembaganya. Dalam jurnal "Pembagian Kekuasaan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Di Indonesia" yang ditulis Rika Marlina, terdapat dua masa pembagian kekuasaan secara horizontal di Indonesia, yakni sebelum amandemen UUD 1945 dan setelah Amandemen UUD 1945. Sebelum UUD 1945 diperbarui melalui amandemen, pembagian kekuasaan secara horizontal di Indonesia terdiri dari tiga kekuasaan, yaitu kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ide membagi kekuasaan menjadi tiga jenis ini disadur dari teori trias polica yang dicetuskan John Locke dan juga Apa Saja Peran Warga dalam Implementasi Wawasan Nusantara? Apa Saja Aspek Trigatra dan Pancagatra dalam Wawasan Nusantara? Setelah UUD 1945 mengalami amandemen, pembagian kekuasaan horizontal di Indonesia kemudian ditambah menjadi enam. Selain kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, pembagian kekuasaan di Indonesia ditambah dengan kekuasaan konstitutif, kekuasaan eksaminatif/inspektif. dan kekuasaan moneter. Berikut penjelasan masing-masing jenis pembagian kekuasaan di Indonesia secara horizontal KonstitutifKekuasaan konstitutif adalah kekuasaan yang berfungsi mengubah dan mengesahkan Undang-undang Dasar. Kekuasaan ini dijalankan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR. Tugas dan wewenang MPR tersebut termaktub dalam Pasal 3 ayat 1 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Kekuasaan EksekutifKekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang berfungsi untuk menjalankan undang-undang dan menyelenggarakan pemerintahan negara. Kekuasaan eksekutif dipegang oleh seorang presiden dan wakilnya, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 3. Kekuasaan LegislatifKekuasaan Legislatif adalah kekuasaan yang berfungsi membentuk dan mengesahkan undang-undang. Kekuasaan dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 20 ayat 1 UUD 1945. 4. Kekuasaan YudikatifKekuasaan Yudikatif sering kali disebut sebagai kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang berfungsi untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan yudikatif dipegang oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat 2 UUD 1945. 5. Kekuasaan eksaminatif/inspektif Kekuasaan eksaminatif/inspektif merupakan kekuasaan yang memiliki fungsi menyelenggarakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Kekuasaan eksaminatif/inspektif dipegang oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 23 E ayat 1 UUD 1945. yang menyatakan bahwa untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara maka diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri. 6. Kekuasaan MoneterKekuasaan moneter merupakan kekuasaan yang berfungsi untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; serta memelihara kestabilan nilai rupiah. Kekuasaan ini dipegang oleh Bank Indonesia selaku bank sentral di Indonesia. Kekuasaan ini dijelaskan dalam Pasal 23 D UUD 1945. - Sosial Budaya Kontributor Rizal Amril YahyaPenulis Rizal Amril YahyaEditor Addi M Idhom ArticlePDF Available Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. CosmoGov Jurnal Ilmu Pemerintahan ISSN 2442-5958 E-ISSN 2540-8674 Oktober 2018 Doi 247 SISTEM PRESIDENSIAL DI INDONESIA Ribkha Annisa Octovina Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Email octovinaa ABSTRAK Saat ini Indonesia menganut sistem presidensial untuk pemerintahannya. Pelaksanaan ini tentu tidak luput dari tiga pembagian kekuasaan atau biasa disebut dengan trias politica legislatif, eksekutif, yudikatif yang lekat dengan sistem presidensial. Sayangnya, praktik presidensial di Indonesia hanya baru terjadi pada pengembangan sistem. Dalam pelaksanaanya, peran presiden semakin kalah dan lemah dibandingkan dengan DPR selaku legislatif. Bahkan pembagian tiga kekuasaan pun tidak absolut seperti trias politica, tetapi terbagi kedalam empat pembagian kekuasaan. Kata kunci sistem presidensial; trias politica; sistem pemerintahan ABSTRACT Currently Indonesia adopts a presidential system for its government. This implementation certainly did not escape from the three power divisions or trias politica legislative, executive, judicative attached to the presidential system. Unfortunately, presidential practice in Indonesia has only occurred in system development. In the implementation, the role of the president is getting lost and weak compared to the DPR as the legislature. Even the division of three powers is not absolute like trias politica, but is divided into four power-sharing. Keywords presidential system; trias politica; governmental system PENDAHULUAN Konstitusi dengan jelas menegaskan ciri-ciri sistem presidensial yang dianut oleh Indonesia. Akan tetapi, kondisi pemerintahan Indonesia saat ini memunculkan pertanyaan mengenai sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia. Biarpun banyak sistem yang dikembangkan berdasarkan sistem presidensial, seperti misalnya pemilihan umum, Indonesia juga masih menganut beebrapa corak parlementer, seperti sistem multipartai. Menggabungkan aspek presidensial dengan parlementer sebenarnya dapat menimbulkan masalah. Masalah yang mungkin muncul dari penggabungan ini ialah mengenai siapa yang memegang kekuasaan, bila dalam sistem presidensial sangat jelas presiden CosmoGov Jurnal Ilmu Pemerintahan ISSN 2442-5958 E-ISSN 2540-8674 Oktober 2018 Doi 248 sebagai pemegang kekuasaan, tentu berbeda dengan sistem parlementer yang dimana pemegang kekuasaan ada parlemen dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat. Sistem presidensil erat berhubungan dengan trias politica legislatif, eksekutif, yudikatif. Pembagian kekuasaan inilah yang saat ini semakin bias dalam pemerintahan Indonesia. Maka dari itu, dalam tulisan ini saya ingin membahas mengenai 1 Bagaimana pelaksanaan sistem presidensial di Indoensia? Untuk membantu menjawab pertanyaan diatas, maka tulisan ini akan menggunakan konsep sistem presidensial dan teori pembagian kekuasaan. HASIL DAN PEMBAHASAN Ada empat ciri yang menggambarkan sistem presidensial menurut Witman dan Wuest dalam Syafiie, 2011 1. It is based upon the separation of power principles. 2. The executive has no power to disolve the legislature nor must be resign when he loses the supp of the majority of its membership. 3. There is no mutual responsibility between the president and his cabinet, the latter is, wholly responsible to the chief executive. 4. The executive is chosen by the electorate Dengan demikian menurut Witman dan Wuest ciri-ciri dari sistem presidensial adalah sebagai berikut 1. Hal tersebut berdasarkan atas prinsip-prinsip pemisahan kekuasaan. 2. Eksekutif tidak mempunyai kekuasaan untuk membubarkan parlemen juga tidak perlu berhenti sewaktu kehilangan dukungan dari mayoritas anggota parlemen. 3. Dalam hal ini tidak ada tanggung jawab yang berbalasan antara presiden dan kabinetnya, karena pada akhirnya seluruh tanggung jawab sama sekali tertuju pada presiden sebagai kepala pemerintahan. 4. Presiden dipilih langsung oleh para pemilih. Dari uraian diatas, maka dapat dikemukakan beberapa ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial, yaitu 1. Presiden sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan 2. Presiden tidak dipilih oleh badan perwakilan tetapi oleh dewan pemilih dan belakangan peranan dewan pemilih tidak tampak lagi sehingga dipilih oleh rakyat 3. Presiden berkedudukan sama dengan legislatif 4. Kabinet dibentuk oleh Presiden, sehingga kabinet bertanggungjawab kepada presiden 5. Presiden tidak dapat dijatuhkan oleh badan legislatif, begitupun sebaliknya Presiden tidak dapat CosmoGov Jurnal Ilmu Pemerintahan ISSN 2442-5958 E-ISSN 2540-8674 Oktober 2018 Doi 249 membubarkan badan legislatif. Menurut Sarundajang, 2012, sistem pemerintahan presidensial memiliki kelebihan yaitu pemerintahan yang dijalankan oleh eksekutif berjalan relatif stabil dan sesuai dengan batas waktu yang telah diatur dan ditetapkan dalam konstitusi. Sedangkan kelemahan dari sistem pemerintahan presidensial adalah setiap kebijakan pemerintahan yang diambil merupakan bargaining position antara pihak legislatif dan eksekutif yang berarti terjadi pengutamaan sikap representatif – elitis dan bukan partisipatif – populis. Sistem pemerintahan presidensial memisahkan kekuasaan yang tegas antara lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, sehingga antara yang satu dengan yang lain seharusnya tidak dapat saling mempengaruhi. Menteri-menteri tidak bertanggungjawab kepada Legislatif, tetapi bertanggungjawab kepada Presiden yang memilih dan mengangkatnya, sehingga menteri-menteri tersebut dapat diberhentikan oleh presiden tanpa persetujuan badan legislatif. Pemisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif, yudikatif biasa kita sebut sebagai trias politica. Menurut Montesquieu, ajaran Trias Politica dikatakan bahwa dalam tiap pemerintahan negara harus ada 3 tiga jenis kekuasaan yang tidak dapat dipegang oleh satu tangan saja, melainkan harus masing- masing kekuasaan itu terpisah. Pada pokoknya ajaran Trias Politica isinya tiap pemerintahan negara harus ada 3 tiga jenis kekuasaan yaitu Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif, sebagai berikut a. Kekuasaan Legislatif Legislative Power Kekuasaan Legislatif Legislative Power adalah kekuasaan membuat undang-undang. Kekuasaan untuk membuat undang-undang harus terletah dalam suatu badan khusus untuk itu. Jika penyusunan undang-undang tidak diletakkan pada suatu badan tertentu , maka akan mungkin tiap golongan atau tiap orang mengadakan undang-undang untuk kepentingannya sendiri. Suatu negara yang menamakan diri sebagai negara demokrasi yang peraturan perundangan harus berdasarkan kedaulatan rakyat, maka badan perwakilan rakyat yang harus dianggap sebagai badan yang mempunyai kekuasaan tertinggi untuk menyusun undang-undang dan dinamakan “Legislatif”. Legislatif adalah yang terpenting sekali dalam susunan kenegaraan karena undang-undang adalah ibarat tiang yang menegakkan hidup perumahan Negara dan sebagai alat yang menjadi pedoman hidup bagi bermasyarakat dan bernegara. Sebagai badan pembentuk undang- undang, maka Legislatif itu hanyalah berhak untuk mengadakan undang- undang saja, tidak boleh melaksanakannya. Untuk menjalankan undang-undang itu haruslah diserahkan kepada suatu badan lain. Kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang adalah “Eksekutif”. CosmoGov Jurnal Ilmu Pemerintahan ISSN 2442-5958 E-ISSN 2540-8674 Oktober 2018 Doi 250 b. Kekuasaan Eksekutif Executive Power Kekuasaan “Eksekutif” adalah kekuasaan untuk melaksanakan undang- undang. Kekuasaan melaksanakan undang-undang dipegang oleh Kepala Negara. Kepala Negara tentu tidak dapat dengan sendirinya menjalankan segala undang-undang ini. Oleh karena itu, kekuasaan dari kepala Negara dilimpahkan didelegasikan kepada pejabat-pejabat pemerintah/Negara yang bersama-sama merupakan suatu badan pelaksana undang-undang Badan Eksekutif. Badan inilah yang berkewajiban menjalankan kekuasaan Eksekutif. c. Kekuasaan Yudikatif atau Kekuasaan Kehakiman Yudicative Powers Kekuasaan Yudikatif atau Kekuasaan Kehakiman Yudicative Powers adalah kekuasaan yang berkewajiban mempertahankan undang-undang dan berhak memberikan peradilan kepada rakyatnya. Badan Yudikatif adalah yang berkuasa memutus perkara, menjatuhkan hukuman terhadap setiap pelanggaran undang-undang yang telah diadakan dan dijalankan. Walaupun pada hakim itu biasanya diangkat oleh Kepala Negara Eksekutif tetapi mereka mempunyai kedudukan yang istimewa dan mempunyai hak tersendiri, karena hakim tidak diperintah oleh Kepala Negara yang mengangkatnya, bahkan hakim adalah badan yang berhak menghukum Kepala Negara, jika Kepala Negara melanggarnya. Lembaga negara atau lembaga pemerintah dalam sistem pemerintahan republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Sesudah Amandemen ada 7 tujuh yaitu MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA dan MK. Nyatanya, di Indonesia pembagian kekuasaan tidak murni terbagi kedalam tiga kekuasaan. Ada pemabagian kekuasaan keempat yang disebut kekuasaan eksaminatif, yaitu kekuasaan terhadap pemeriksaan keuangan negara. Kekuasaan eksaminatif di Indonesia berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sesudah amandemen adalah BPK. Disamping pembagian kekuasaan yang kurang sesuai dengan trias politica, kelemahan dari sistem presidensial belum juga terselesaikan dalam pemerintahan Indonesia. Hal ini terlihat dari peran presiden yang semakin melemah, sementara DPR semakin berperan dalam pemerintahan. Salah satu kasus yang paling mencolok baru-baru ini adalah pengesahan UU MD3 oleh DPR yang tidak ditandatangani presiden. Pemerintah Indonesia memang memiliki peraturan mengenai pengesahan undang-undang yang tertuang dalam UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundnag-Undangan. UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ini mengatur presiden harus menandatangani UU dalam waktu 30 CosmoGov Jurnal Ilmu Pemerintahan ISSN 2442-5958 E-ISSN 2540-8674 Oktober 2018 Doi 251 hari setelah disahkan DPR. Undang-Undang tetap akan berlaku apabila Presiden tidak menandatangani dalam kurun waktu tersebut. Peraturan ini tentu mencacatkan sistem presidensial yang seharusnya. KESIMPULAN Setelah pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaansistem presidensial di Indonesia masih memiliki banyak kekurangan. Pembagian kekuasaan nampaknya tidak berlaku seimbang, dan terkesan dimanfaatkan segelintir pihak. Sistem presidensial sebenarnya sangat relevan dipraktikan di Indonesia bila melihat karakteristik bangsa dan negara, sayangnya pada praktiknya masih jauh dari kata cukup. DAFTAR PUSTAKA Budiardjo, Miriam. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta Gramedia Pustaka Sarundajang. 2012. Babak Baru Sistim Pemerintahan. Jakarta Kata Hasta Pustaka Syafiie, 2011. Pengantar Ilmu Pemerintahan. Bandung PT. Refika Aditama ... Sistem presidensial memiliki beberapa ciri-ciri yaitu a Presiden sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan, b Presiden tidak dipilih dan diangkat oleh parlemen tetapi oleh dewan pemilih namun belakangan ini peranan dewan pemilih tidak terlihat lagi sehingga dipilih oleh rakyat, c Presiden dan legislatif memiliki kedudukan yang setara, d kabinet dibentuk oleh Presiden sehingga tanggung jawab kabinet hanya kepada Presiden, e Presiden tidak dapat dijatuhkan oleh badan legislatif, begitu juga sebaliknya Presiden tidak dapat menjatuhkan badan legislatif Octovina, 2018. Presiden yang dipilih oleh rakyat secara langsung berimplikasi pada tanggung jawab Presiden. ...This study aimed to analyze legal politics and determine the broad guidelines of state policy based on the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. This study was included in the type of legal study with a statutory approach, a conceptual approach, and a historical approach. The People's Consultative Assembly did not establish the main points of state policy. However, they were jointly formed by the President, the People's Representative Council, and the Regional Representatives Council because the People's Consultative Assembly was no longer located as the highest state institution. The construction of the broad state policy guidelines, designed by the candidate for President or Vice President and his coalition before the general election, was then ratified into law if it had been elected as President. The regulatory period for the state law was designed for five years to make the legal norms more concrete.... 15 Pembagian kekuasaan pada masing-masing lembaga dan lembaga tersebut dipilih langsung oleh rakyat menjadikan sistem pemerintahan presidensial dianggap cukup ideal untuk mewakili kepentingan rakyat dan mampu untuk dikontol secara langsung oleh rakyat. Sistem presidensial selalu berkaitan dengan trias politica 16 , sehingga adanya pemisahan kekuasaan tersebut harus juga dengan diperkuat oleh legalitas keseimbangan antara rakyat, lembaga eksekutif maupun legislatif melalui pemilihan umum. 17 Pandangan lain seperti yang disampaikan Hanta Yuda, bahwa sistem pemerintahan presidensial kekuasaan terpusat pada lembaga eksekutif dengan basis legitimasi berasal dari rakyat bukan dari legislatif atau parlemen. ...Sultoni FikriAnang Fajrul Ukhwaluddin-This paper describes a comparison related to the presidential government system in the Unitary State of the Republic of Indonesia and the State of the Islamic Republic of Iran. Some of the basic reasons that make the writer interested in discussing presidential government systems are the existence of standard rules or at least oriented to the United States presidential government system, but in practice, the system tends to follow the conditions of the socio-political-cultural structure that exists in each country. While the background why the author chose Indonesia and Iran to be compared, at least based on several factors. First, related to the history of upheaval in each country, Indonesia has experienced a period of reform and Iran has experienced a period of revolution. Second, Indonesia and Iran are both countries with a majority Muslim population, and Iran makes Islamic values ??the basis of state life. Meanwhile, in Indonesia, Islamic values ??are not fully used as the basis of the state, considering that Indonesia is a diverse country in terms of religion and culture. Third, Indonesia and Iran both use a presidential system of government, but Indonesia and Iran can combine the rules of a presidential government system with the conditions of the socio-political-cultural structure that exist in each country. This research is research using the statutory approach, conceptual approach, and comparative approach. As a result, there are differences in the implementation of presidential government systems in Indonesia and Iran in several indicators. This is very reasonable because the system of government in a country must adapt to the socio-political historical conditions that exist in both Indonesia and Iran. Indonesia, Iran, presidential masyarakat hukum adat, tanah ulayat merupakan suatu kesatuan yang tak dapat terpisahkan yang memiliki sifat religio-magis. Keberadaannya telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Namun, seiring berjalannya waktu keberadaan masyarakat hukum adat dan tanah ulayat tergerus oleh perkembangan globalisasi akibat pertambahan penduduk dan pembangunan infrastruktur yang masif. Dengan demikian perlu suatu upaya pembaharuan hukum agraria yang dimaknai sebagai penataan atas penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan P4T atau dimaknai sebagai sumber-sumber agraria menuju struktur P4T yang berkeadilan dengan langsung mengatasi pokok persoalannya melalui reforma agraria. Dalam hal ini, pemerintah perlu melakukan upaya harmonisasi aturan yang ada berkaitan dengan pertanahan, hukum adat dan masyarakat hukum Agritama S W MadjidThe 1945 Constitution of the Republic of Indonesia mandates that it is necessary to have Ministers to assist the President in carrying out his executive duties. The logical consequence is that the President has the prerogative to determine the formation of the structure of Ministers in their cabinet. Historically, the President’s prerogative has problems such as the uncertainty of the number and type of Ministries which resulted in the cabinet being unable to run effectively and efficiently in carrying out the functions. The State Ministry Law exists to regulate how the formation, change, and dissolution of State Ministries, so that there are limits to the President’s power to determine the structure of Ministries in the cabinet in order to support the effectiveness of the running of government. This study intend to examine how the legal politics of the existence of restriction on the President’s prerogative in determining the structure of their cabinet based on The State Ministry Law. The type of research used in this study is normative juridical with the library research method. The data source used is secondary data which includes primary, secondary, and tertiary legal materials. The results of this study is describe that The State Ministry Law has a responsive character because of the process of forming The State Ministry Law occurs through a democratic political configuration. Regarding the legal politics, the limitation of President’s prerogative in forming Ministries is aimed at strengthening the mechanism of checks and balances and strengthening the presidential system. Keywords Politics of Law, Prerogatives, President, Ministry UUD 1945 mengamanatkan bahwa perlunya keberadaan Menteri untuk membantu Presiden dalam melaksanakan fungsinya di ranah ekesekutif. Konsekuensi logis dari hal tersebut adalah adanya hak prerogatif dari presiden untuk menentukan pembentukan struktur kementerian dalam kabinetnya. Dalam praktiknya hak prerogatif Presiden tersebut menuai problem, seperti tidak menentunya jumlah dan jenis kementerian yang berakibat pada tidak dapatnya berjalan efektif dan efisien suatu kabinet dalam menjalankan fungsinya. UU Kementerian Negara hadir sebagai upaya untuk mengatur bagaimana pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara, sehingga terdapat batasan terhadap kekuasaan presiden untuk menentukan struktur kementerian dalam kabinet dalam rangka menunjang efektifitas jalannya pemerintahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana politik hukum dari adanya pembatasan hak prerogatif Presiden dalam menentukan struktur kabinetnya berdasarkan UU Kementerian Negara. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu yuridis normatif dengan dengan menggunakan pendekatan konstitusional dan peraturan perundang-undangan. Hasil dari penelitian ini menguraikan bahwa UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara memiliki karakter yang responsif karena proses pembentukan UU a quo terjadi melalui konfigurasi politik yang demokrasi. Terhadap politik hukum pembatasan hak prerogatif presiden dalam pembentukan kementerian adalah bertujuan untuk memperkuat mekanisme check and balances dan memperkuat sistem presidensial. Kata Kunci Politik Hukum, Hak Prerogatif, Presiden, Kementerian Putu Gede Arya Sumerta YasaThe purpose of this research is to determine how the form of the presidential system adopted by Indonesia and to compare the presidential system in Indonesia with several countries such as the United States, South Korea and the Philippines. The research method used in this study is a normative legal research which used statute approach, conceptual approach, and comparative approach to examine the vacuum of norm regarding the presidential system in Indonesia. The results show that Indonesia adheres to non pure presidential system, namely a quasi-presidential system which is indicated by the horizontal relationship between state institutions. In the implementation of the presidential government system, every country has different characteristics so that it undergoes modifications depending on the situation and conditions of the country that adheres to it. When Indonesian presidential system compared with the United States, South Korea and the Philippines, it will show the special characteristics and weaknesses of each country. The indicators used in comparing presidential systems in several countries are the form of the presidential system, special characteristics, and weaknesses which in general are excess power in the failure of the de-radicalization program in prisons is evidenced by the high recidivation of terrorism convicts who have launched their actions again. This failure was due to the lack of coordination between stakeholders, namely the Director-General of Social Affairs Dirjenpas and the BNPT. Government Science sees that there have been sectoral egos between institutions. This study aims to examine the implementation of deradicalization in prisons and to skin sectoral egos in its implementation. This research methodology uses qualitative descriptive, namely the translation through words, by conducting interviews from September to October 2020. The results show that there is a reluctance of the Director-General of Social Affairs to use the concept of deradicalization and prefers to use the concept of guidance owned by the Director-General of Social Affairs itself. This reluctance was based on the negative stigma of using deradicalization and the feeling that BNPT had never coordinated to coordinate deradicalization. The sectoral ego is the result of not being carefully defined by radicalism and terrorism. Each state institution and the general public have their own definitions, resulting in differences in concept resulting in differences in program design and has not been able to resolve any references for this publication.